Senin, 29 Maret 2010

OPINI BANK CENTURY DI DPR

Dalam kasus pemberian dana talangan (bail out) ke Bank Century dan penyalurannya, yang diduga melibatkan Wakil Presiden Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan pejabat lain, secara ksatria justru diperlihatkan sikap konsisten tak ingin meninggalkan gelanggang pertarungan. Berulang kali Boediono menegaskan alasan tindakannya menjadi ”pemadam dan penyelamat” ketika ”rumah” Bank Century terbakar saat ia menjadi Gubernur Bank Indonesia.

Jelas ada perbedaan pandangan antara pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif). Saat DPR akhirnya menyimpulkan ada kesalahan dalam kasus bank itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru bersikap sebaliknya. Kebijakan menalangi bank itu dinilai sebagai tindakan penyelamatan sektor perekonomian yang guncang saat itu.

Ini bukan soal rivalitas antardua lembaga tinggi negara. Bukan pula dilihat sebagai kekalahan pemerintah (the ruling party) yang mengantongi mandat rakyat lebih dari 60 persen suara. Tak seharusnya pula partai oposisi menepuk dada.

Hanya, karena perbedaan itu, penyelesaian kasus Bank Century justru kian berliku selepas pentas Panitia Khusus (Pansus) DPR yang dramatik. Dua pilihan penyelesaian, yaitu jalur hukum atau jalur politik, ternyata tak semudah bayangan orang.

Bukan adu kekuatan

Sebetulnya pentas skandal Bank Century di DPR positif karena memperlihatkan praktik demokrasi yang dinamis, bahkan emosional, sehingga dengan logikanya sendiri publik pun bisa mengukur ”kebenaran” atau ”kekeliruan” kasus itu. Logika publik tidak bisa lagi dipengaruhi opini segelintir elite politik. Namun, runyamnya demokrasi yang kita pertontonkan ini agaknya tak ingin benar-benar ditelanjangi.

DPR sepertinya sebisa mungkin tak ingin menempuh jalan politik secara total. Sejak awal, partai politik yang ngotot, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Gerakan Indonesia Raya, juga menahan diri untuk tak mengarah pada ujung jalan politik: pemakzulan (impeachment). Namun, wacana hak menyatakan pendapat justru menguat ketika DPR tak ingin dibilang setengah hati menyelesaikan kasus itu.

Akan tetapi, keliru bila membaca politik secara matematis. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, yang fraksinya memilih opsi C (Bank Century bermasalah) di tikungan terakhir, mengintroduksi secara politik, kasus itu dianggap selesai. Tidak ada lagi proses penggunaan hak menyatakan pendapat. Energi harus dikonsentrasikan untuk mengurusi masalah besar lain.

Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie juga menegaskan, penyelesaian kasus itu harus didorong ke jalur hukum. Beberapa partai yang bersikap keras terhadap kasus Bank Century juga sejak awal tampaknya tidak ingin menapaki jalan pemakzulan.

Persoalannya, jika jalan ”politik” dalam arti berdasarkan konstitusi yang bisa berujung di Mahkamah Konstitusi, juga bakal rumit dan banyak kendala. Hak menyatakan pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, harus disetujui rapat paripurna yang dihadiri tiga perempat anggota DPR.

Ini jelas di DPR saja usulan hak menyatakan pendapat akan KO (knock out). Sebab, anggota Fraksi Partai Demokrat, yang merupakan partai penguasa, memiliki suara 26,43 persen (148 kursi). Kalau menggunakan dasar Pasal 7B Ayat 3 UUD 1945 yang mensyaratkan kehadiran dua pertiga anggota DPR, juga akan sulit terwujud. Ini mengingat ada koalisi partai yang terus setia dan sinyal terang yang disampaikan pimpinan parpol itu.

Namun, bagaimanapun kasus Bank Century tak bisa diselesaikan dengan cara unjuk kekuatan. Seperti peribahasa ”bila dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah”, akhirnya masyarakat yang menderita. Agar tidak mewariskan perasaan sakit hati kelembagaan, satu-satunya solusi, sebagaimana didorong umumnya parpol dan banyak pihak, adalah menuntaskannya dalam koridor hukum. Semestinya tak ada tempat untuk cara penyelesaian machiavellistik yang mengandalkan kekuasaan.

Proses hukum

Dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), penyelesaian secara hukum seharusnya bisa mencegah adanya pembunuhan karakter yang berkembang secara liar. Penuntasan di ranah hukum juga seharusnya lebih melindungi hak, sekaligus menyelamatkan Boediono dan Sri Mulyani yang dikenal sebagai sosok yang bersih, jujur, profesional, dan berintegritas tinggi. Keberpihakan publik kepada mereka juga besar.

Proses penuntasan kasus ini harus benar-benar jujur, adil, dan tanpa intervensi. Biarkan penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, dan kejaksaan, bekerja profesional dan independen. Saatnya meninggalkan cara abu-abu sebagaimana lazim dilakukan dalam kasus politik. Mata publik terus mengawasi.

Bila dalam proses hukum itu ada yang dinyatakan bersalah, termasuk dalam soal kebijakan, rasanya persamaan di mata hukum harus ditegakkan. Inilah pentingnya keadilan. Adil, kata Plato (427-347 sebelum Masehi), adalah memperlakukan setiap orang sesuai haknya. Thomas Aquinas (1225-1274) merumuskan, keadilan adalah hak untuk orang lain, bukan karena rasa sayang atau hubungan persaudaraan. Bahwa nanti ada pemaafan, seperti kasus Richard Nixon dalam skandal Watergate, sebagaimana dikatakan pengamat tata negara Refly Harun, itu juga menjadi bagian dari proses kebangsaan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar