Senin, 29 Maret 2010

WATAK TIGA TOKOH DALAM FILM SANG PEMIMPI

Ada banyak motivasi bagi seseorang untuk memutuskan menonton sebuah film.
Semua pasti mendengar kehebohan film dalam negeri terbaru dan fenomenal, Sang Pemimpi. Dibalik meriahnya sambutan masyarakat akan sekuel Laskar Pelangi ini, beberapa hari terakhir saya secara tak sengaja menemui beberapa review yang justru mengungkap ketidak puasan para reviewer terhadap Sang Pemimpi. Berdasar itu pulalah saya putuskan untuk pergi menontonnya hari kamis kemarin, ya walaupun sudah hampir 2 minggu sejak film ini dirilis.
Cerita diawali dengan kemunculan Ikal dewasa (Lukman Sardi) yang sedang menjalani kehidupannya yang membosankan dan penuh kebencian terhadap sepupunya Arai (Nazril Irham), yang meninggalkannya sendirian di pinggiran Bogor sebagai pegawai kantor pos. Kemudian kisah berputar ke sekitar tahun 1980an, yang dikala itu Arai dijemput oleh Ikal dan ayahnya (Mathias Muchus). Ayah Arai baru saja meninggal, dan hanya keluarga Ikal lah yang masih dimilikinya.
Jadilah sejak saat itu Arai tinggal bersama Ikal dan orang tuanya, Setelah lulus SMP mereka berdua melanjutkan sekolah ke sebuah SMA Negeri di Manggar, sebab di Belitong tak ada SMA. Arai digambarkan memiliki watak dan kemauan yang keras. Ia memiliki banyak mimpi dan cita-cita, dan berkomitmen tinggi untuk mencapai semua mimpi dan cita-citanya. Sementara Ikal kebanyakan hanya mengikuti Arai saja.
Satu mimpi terbesar Arai pada saat itu adalah pergi bersekolah ke Paris. Tentu saja mimpi Arai adalah mimpi mereka bersama. Dan selama bersekolah di Manggar, Arai, Ikal dan Jimbron (Azwir Fitrianto) berusaha keras mengumpulkan uang untuk mengejar mimpi-mimpi mereka. Harapan hampir saja kandas ketika perusahaan PN Timah, tempat orang tua Ikal menggantungkan hidup semakin terpuruk dikarenakan harga timah di pasaran dunia semakin jatuh. Ikal dan Arai pun harus memberikan semua tabungan mereka kepada orang tua Ikal untuk menyambung hidup.
Arai dan Ikal tak patah semangat, mereka bekerja lebih giat dan mulai mengumpulkan uang lagi. Hingga akhirnya berhasil menyelesaikan SMA dan pergi ke Jakarta untuk kuliah di Universitas Indonesia.
Perjuangan belum berakhir, jalan menembus ujian masuk UI tak mudah, belum lagi mereka harus menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya setelah lulus menjadi sarjana. Belum juga mewujudkan mimpi untuk pergi ke Paris, Arai pergi meninggalkan Ikal seorang diri di Bogor.
Demikian, saya nyaris merasa bosan dengan cerita Sang Pemimpi di film ini. Saya menduga kerena tak membaca buku novelnya terlebih dulu. Saya jadi harus meraba dan mengira-ngira beberapa bagian yang entah bagaimana terasa menghilang dari frame cerita.
Ide cerita Sang Pemimpi ini bagus sekali, memotivasi setiap orang bahwa mengejar mimpi dan harapan adalah wajib untuk dilakukan. Sekaligus meyakinkan kita semua untuk tak ragu-ragu memiliki mimpi setinggi mungkin. Namun lagi-lagi entah mengapa saya merasa film ini kurang bisa menerjemahkannya dalam sebuah karya sinematografi. Alur cerita berjalan terlampau cepat, sehingga belum juga habis rasa penasaran dari suatu hal, permasalahan lain sudah keburu muncul.
Ditambah lagi dengan penyajian ending yang kurang menggigit. Dengan kompleksnya konflik yang dihadirkan di sepanjang film ini, scene dua orang remaja yang berjingkrak di tengah hujan salju di Brussel saya kira belum cukup membawa antiklimaks.
Namun harus saya akui, seorang Riri Riza benar-benar menunjukkan kalibernya di film ini. Setiap detail gambar yang disajikan begitu mempesona. Teknik permainan fokus lensa, angle dan pengolahan visual juga sukar sekali ditemukan tandingannya di Indonesia. Film Sang Pemimpi memang tak terlalu banyak mengekspos keelokan alam seperti halnya Laskar Pelangi, tapi tetap saja membuat mata kita terasa dimanjakan.
Akhirnya, saya yakin banyak dari Anda yang tetap menempatkan Sang Pemimpi sebagai Film terhebat dan dengan segala kesempurnaannya telah berhasil menginspirasi Anda untuk menjadi lebih baik, percayalah, saya pun demikian. Namun apa yang saya tulis adalah murni adalah opini pribadi dari kacamata saya. Saya sangat senang jika Anda berkenan menyampaikan pendapat Anda juga di sini.

OPINI BANK CENTURY DI DPR

Dalam kasus pemberian dana talangan (bail out) ke Bank Century dan penyalurannya, yang diduga melibatkan Wakil Presiden Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan pejabat lain, secara ksatria justru diperlihatkan sikap konsisten tak ingin meninggalkan gelanggang pertarungan. Berulang kali Boediono menegaskan alasan tindakannya menjadi ”pemadam dan penyelamat” ketika ”rumah” Bank Century terbakar saat ia menjadi Gubernur Bank Indonesia.

Jelas ada perbedaan pandangan antara pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif). Saat DPR akhirnya menyimpulkan ada kesalahan dalam kasus bank itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru bersikap sebaliknya. Kebijakan menalangi bank itu dinilai sebagai tindakan penyelamatan sektor perekonomian yang guncang saat itu.

Ini bukan soal rivalitas antardua lembaga tinggi negara. Bukan pula dilihat sebagai kekalahan pemerintah (the ruling party) yang mengantongi mandat rakyat lebih dari 60 persen suara. Tak seharusnya pula partai oposisi menepuk dada.

Hanya, karena perbedaan itu, penyelesaian kasus Bank Century justru kian berliku selepas pentas Panitia Khusus (Pansus) DPR yang dramatik. Dua pilihan penyelesaian, yaitu jalur hukum atau jalur politik, ternyata tak semudah bayangan orang.

Bukan adu kekuatan

Sebetulnya pentas skandal Bank Century di DPR positif karena memperlihatkan praktik demokrasi yang dinamis, bahkan emosional, sehingga dengan logikanya sendiri publik pun bisa mengukur ”kebenaran” atau ”kekeliruan” kasus itu. Logika publik tidak bisa lagi dipengaruhi opini segelintir elite politik. Namun, runyamnya demokrasi yang kita pertontonkan ini agaknya tak ingin benar-benar ditelanjangi.

DPR sepertinya sebisa mungkin tak ingin menempuh jalan politik secara total. Sejak awal, partai politik yang ngotot, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Gerakan Indonesia Raya, juga menahan diri untuk tak mengarah pada ujung jalan politik: pemakzulan (impeachment). Namun, wacana hak menyatakan pendapat justru menguat ketika DPR tak ingin dibilang setengah hati menyelesaikan kasus itu.

Akan tetapi, keliru bila membaca politik secara matematis. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, yang fraksinya memilih opsi C (Bank Century bermasalah) di tikungan terakhir, mengintroduksi secara politik, kasus itu dianggap selesai. Tidak ada lagi proses penggunaan hak menyatakan pendapat. Energi harus dikonsentrasikan untuk mengurusi masalah besar lain.

Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie juga menegaskan, penyelesaian kasus itu harus didorong ke jalur hukum. Beberapa partai yang bersikap keras terhadap kasus Bank Century juga sejak awal tampaknya tidak ingin menapaki jalan pemakzulan.

Persoalannya, jika jalan ”politik” dalam arti berdasarkan konstitusi yang bisa berujung di Mahkamah Konstitusi, juga bakal rumit dan banyak kendala. Hak menyatakan pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, harus disetujui rapat paripurna yang dihadiri tiga perempat anggota DPR.

Ini jelas di DPR saja usulan hak menyatakan pendapat akan KO (knock out). Sebab, anggota Fraksi Partai Demokrat, yang merupakan partai penguasa, memiliki suara 26,43 persen (148 kursi). Kalau menggunakan dasar Pasal 7B Ayat 3 UUD 1945 yang mensyaratkan kehadiran dua pertiga anggota DPR, juga akan sulit terwujud. Ini mengingat ada koalisi partai yang terus setia dan sinyal terang yang disampaikan pimpinan parpol itu.

Namun, bagaimanapun kasus Bank Century tak bisa diselesaikan dengan cara unjuk kekuatan. Seperti peribahasa ”bila dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah”, akhirnya masyarakat yang menderita. Agar tidak mewariskan perasaan sakit hati kelembagaan, satu-satunya solusi, sebagaimana didorong umumnya parpol dan banyak pihak, adalah menuntaskannya dalam koridor hukum. Semestinya tak ada tempat untuk cara penyelesaian machiavellistik yang mengandalkan kekuasaan.

Proses hukum

Dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), penyelesaian secara hukum seharusnya bisa mencegah adanya pembunuhan karakter yang berkembang secara liar. Penuntasan di ranah hukum juga seharusnya lebih melindungi hak, sekaligus menyelamatkan Boediono dan Sri Mulyani yang dikenal sebagai sosok yang bersih, jujur, profesional, dan berintegritas tinggi. Keberpihakan publik kepada mereka juga besar.

Proses penuntasan kasus ini harus benar-benar jujur, adil, dan tanpa intervensi. Biarkan penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, dan kejaksaan, bekerja profesional dan independen. Saatnya meninggalkan cara abu-abu sebagaimana lazim dilakukan dalam kasus politik. Mata publik terus mengawasi.

Bila dalam proses hukum itu ada yang dinyatakan bersalah, termasuk dalam soal kebijakan, rasanya persamaan di mata hukum harus ditegakkan. Inilah pentingnya keadilan. Adil, kata Plato (427-347 sebelum Masehi), adalah memperlakukan setiap orang sesuai haknya. Thomas Aquinas (1225-1274) merumuskan, keadilan adalah hak untuk orang lain, bukan karena rasa sayang atau hubungan persaudaraan. Bahwa nanti ada pemaafan, seperti kasus Richard Nixon dalam skandal Watergate, sebagaimana dikatakan pengamat tata negara Refly Harun, itu juga menjadi bagian dari proses kebangsaan kita.

KELAS DUNIA ONDERDIL PURBALINGGA

KELAS DUNIA ONDERDIL PURBALINGGA



Rumah kelir hijau di Desa Patemon, Bojongsari, Purbalingga, Jawa Tengah, itu terlihat sederhana. Namun dari rumah milik Agus Adi Atmaja itulah lahir perlengkapan otomotif kelas unia. Tak kurang dari merek mewah, seperti Mercedes Benz dan turunan modifikasinya semacam AMG dan Remus, telah menggunakan produk buatan buatan pria berumur 41 Tahun yang dikenal dengan nama Agus Knalpot itu.

Agus memulai usaha pada puncak krisis moneter, tahun 1998-1999. Ketika itu, daerah Sayangan, Purbalinnga, menjadi sentra knalpot sejak 1070-an, dipelopori oleh Sultoni. Namun bengkel di sana kebanyakan membuat knalpot dari bahan logam bekas.

Sebelumnya, sejak 1950-an, kawasan itu memang terkenal sebagai pusat kerajinan logam. “pada pertengan tahun 1990-an, bisnis knalpot Sayangan dalam masa keemasan,”kata Agus. Namun, pada tahun 1995, usaha knalpot Sayangan mulai turun. Tatkala krisis moneter mendera, sentra knalpot di Purbalingga benar-benar kolaps.

Kondisi itu menurut Agus, lantara terjadi kejenuhan pasar serta tiadanya inovasi produk dan manajemen. Nah, beberapa pemain baru, termasuk Agus, muncul dan melakukan beberapa inovasi. “Bahan, desain, manajemen, sampai pemasaran dibut dengan gaya baru,” kata lulusan STM Purbalingga dan jeboloan fakultas teknik sebuah kampus di Solo serta desain ITB itu.

Usaha produksi knalpot-knalpot bajakan, seperti merek Remus dan HKS, disamping merek Vanvolker, terus berkembang. Bila pada awal usaha Agus menggunakan bahan dari Drum bekas, sejak 2004 knalpot buatannya memakai bahan stainless stell. Bahannya dipasok sebuah pabrikan di Jakarta, dengan harga terendah se-Indonesia.

Untuk produksi, kini ia menghabiskan 1 ton stainless steel dalam waktu dua bulan. Dengan 10 karyawan, kapasitas produksinya bias didongkrak hingga 600 knalot perbulan.

Untuk memperluas pasar, Agus sering ikut pameran, terutama di Jakarta pada 2004, ia bertemu Wakil Mercedes Benz di Jakarta dan ditawari untuk membuat knalpot mobil Mercy. Agus menyanggupi untuk menangani proses pembuatannya, sedangkan pengadaan bahan dan desainnya menjadi tanggung jawab pemesan.

Selain membuat knalpot untuk Mercy tahun 2008 Agus juga mengirim 50 knalpot perbulan ke Itali. Menurut Agus pabrik dari dua Negara itu sudah tertarik pada knalot produksinya.

Pada pertaengahan 2009 pihak Mercedes kembali mengorder Agus knalpot. Jumlah order mencapai 5000 knalpot. Tapi Agus menolak Lantaran sudah kewalahan melayani permintaan pasar. Selain lebih ribet dan tidak fleksibel, nilai order juga tidak sebanding dengan seluruh nilai pasar. Ia khawatir, kalo menerima pesanan Mercy , pasar yang telah berkembang jadi terbengkalai.

Agus mengaku terus melakukan inovasi. Yang terakhir, ia menciptakan knalpot 2 moncong yang dilebeli merek Vanvolker. Knalpot untuk sepeda motor itu, kata dia, sudah diuji coba bolak-balik antara Pateman dan Purwekerto, sekitar 20 kilometer, dimesin knalpotnya tidak terasa panas. Itu dimungkinkan lantaran Agus menhilangkan sejumlah sekat dalam knalpot berfungsi menghilangkan raungan suara mesin. Padahal, menurut Agus, derum itu bias dihilangkan tanpa harus menambah banyak sekat.


Sumber : majalah GATRA
No.52 Tahun XV 5-11 November 2009